Oleh:
Agni Ziyan Qur'ani (Psi.2010), Anny Oktafirllyanti (Psi.2010),
dan Farah Nabilah (Psi.2010)
Edward L. Thorndike (1871-1949) adalah ahli teori belajar terbesar sepanjang masa. Dia bukan hanya merintis karya besar dalam teori belajar tetapi juga dalam bidang psikologi pendidikan, perilaku verbal, psikologi komparatif, uji kecerdasan, problem nature-nurture, transfering training, dan aplikasi pengukuran kuantitatif untuk problem sosiopsikologis. Thorndike memulai proyekn yang disebut belakangan ini dan juga proyek lainnya pada saat berusia lebih dari 60 tahun.
Risetnya dimulai dengan studi telepati mental pada anak muda. Eksperimen selanjutnya menggunakan ayam, kucing, tikus, anjing, ikan, kera, dan akhirnya manusia dewasa.Pada saat dia meninggal tahun 1949, bibliografinya mencakup 507 buku, minigraf, dan artikel jurnal. Thorndike ingin mengukur segala hal, dan dalam autobiografinya dia melaporkan bahwa sampai usia 60 tahun dia menghabiskan sekitar 20 jam sehari untuk membaca dan mendalami buku dan jurnal ilmiah.
Thorndike lahir pada 1874 di Williamsburg, Massachusetts, putra kedua dari seorang pendeta Methodis. Dia mengatakan belum pernah mendengar atau melihat kata psikologi sampai dia masuk Wesleyan University. Pada saat itu dia membaca karya William James, Principles of Psychology (1890), dan amat tertarik dengannya. Kelak dia masuk Harvard dan mengikuti pelajaran james. Setelah dua tahun di Harvard, dia mendapat beasiswa untuk studi di Columbia di bawah bimbingan James McKeen Cattel.
Meskipun dia membawa dua ekor ayamnya “yang paling terdidik” ke New York, dia segera beralih dari ayam ke kucing. Masa-masa riset binatangnya diringkas dalam disertai doktornya, yang berjudul “Animal Intelligence: An Experimental Study of the Associative Process in Animals,” yang dipublikasikan pada 1898 dan kemudian dikembangkan dan dipublikasikan kembali dalam bentuk buku berjudul Animal Intelligence (1911). Ide dasar yang dikemukakan dalam dokumen ini mendasari semua tulisan Thorndike dan hampir seua teori belajar.
Konsep Teoretis Utama
Koneksionisme
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).
Pemilihan dan Pengaitan
Menurut Thorndike bentuk paling dasar dari proses belajar adalah trial-and-error learning (belajar dengan uji coba), atau yang disebutnya sebagai selecting and connecting (pemilihan dan pengaitan). Dia mendapatkan ide dasar ini melalui eksperimen awalnya, dengan memasukkan hewan ke dalam perangkat yang telah ditata sedemikian rupa sehingga ketika hewan itu melakukan jenis respon tertentu ia bisa keluar dari perangkat itu.. Setiap kesempatan adalah usaha coba-coba, dan upaya percobaan berhenti saat si hewan mendapatkan solusi yang benar. Thorndike secara konsisten mencatat bahwa waktu yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah (variabel terikat) menurun secara sistematis seiring dengan bertambahnya upaya percobaan yang dilakukan hewan, artinya semakin banyak kesempatan yang dimiliki hewan, semakin cepat ia akan memecahkan problem.
Belajar adalah Inkremental, Bukan Langsung ke Pengertian Mendalam
Thorndike menyimpulkan bahwa belajar bersifat incremental (bertahap), bukan insightful (langsung ke pengertian). Dengan kata lain, belajar dilakukan dalam langkah-langkah kecil yang sistematis, bukan langsung melompat ke pengertian mendalam.
Belajar Tidak Dimediasi oleh Ide
Berdasarkan risetnya, Thorndike (1898) juga menyimpulkan bahwa belajar adalah bersifat langsung dan tidak dimediasi oleh pemikiran atau penalaran.
Semua Mamalia Belajar dengan Cara yang Sama
Jadi, dengan mengikuti prinsip parsimoni, Thorndike bahwa semua proses belajar adalah langsung dan tidak dimediasi oleh ide-ide, dan juga terutama karena dia juga menegaskan bahwa proses belajar semua mamalian termasuk manusia mengikuti kaidah yang sama.
Thorndike Sebelum 1930
Pemikiran Thorndike tentang proses belajar dapat dibagi menjadi dua bagian : pertama adalah pemikiran sebelum tahun 1930 dan kedua adalah pasca 1930, ketika beberapa pandangan awalnya berubah banyak.
1) Hukum Kesiapan (Law of Readiness)
Dimana hubungan antara stimulus dan respons akan mudah terbentuk manakala ada kesiapan dalam diri individu. Implikasi praktis dari hukum ini adalah, bahwa keberhasilan belajar seseorang sangat tergantung dari ada atau tidak adanya kesiapan. Secara umum kira bisa mengatakan bahwa menginterverensi perilaku yang bertujuan akan menyebabkan frustasi, dan menyebabkan seseorang melakukan sesuatu yang tidak ingin mereka lakukan juga akan membuat mereka frustasi.
2) Hukum Latihan (Law of Exercise)
Sebelum 1930, teori Thorndike mencakup hukum law of exercise, yang terdiri dari dua bagian :
*Koneksi antara stimulus dan respons akan menguat saat keduanya dipakai. Dengan kata lain melatih koneksi antara situasi yang menstimulasi dengan suatu respons akan memperkuat koneksi diantara keduanya.
*Koneksi antara situasi dan respons akan melemah apabila praktik hubungan dihentikan atau jika ikatan neural tidak dipakai.
Hukum ini menjelaskan kemungkinan kuat dan lemahnya hubungan stimulus dan respons. Implikasi dari hukum ini adalah makin sering suatu pelajaran diulang, maka akan semakin dikuasainya pelajaran itu.
3) Hukum Akibat (Law of Effect)
Hukum ini menunjuk kepada kuat atau lemahnya hubungan stimulus dan respons tergantung kepada akibat yang ditimbulkannya. Implikasi dari hukum ini adalah apabila mengharapkan agar seseorang dapat mengulangi respons yang sama, maka harus diupayakan agar menyenangkan dirinya, contohnya dengan memberikan hadiah atau pujian. Sebaliknya, apabila yang diharapkan dari seseorang adalah untuk tidak mengulangi respons yang diberikan, maka harus diberi sesuatu yang tidak menyenangkannya, contohnya dengan memberi hukuman.
Thorndike Pasca 1930
Revisi Hukum Latihan/Penggunaan
Thorndike secara esensial menarik kembali hukum penggunaan atau latihan. Hukum penggunaan, yang menyatakan bahwa repetisi saja sudah cukup untuk memperkuat koneksi, ternyata tidak akurat. Penghentian repetisi ternyata tidak melemahkan koneksi dalam periode yang cukup panjang. Meskipun Thorndike tetap berpendapat bahwa latihan praktis akan menghasilkan kemajuan kecil dan kurangnya latihan akan menyebabkan naiknya tingkat lupa, karena alasan praktis dia meninggalkan hukum latihan setelah tahun 1930.
Revisi Hukum Efek
Setelah 1930, hukum efek ternyata hanya separuh benar. Eparuh dari yang benar itu adalah bahwa sebuah respons yang diikuti oleh keadaan yang memuaskan akan diperkuat, sedangkan untuk separuh lainnya Thorndike menemukan bahwa menghukum suatu respons ternyata tidak ada efeknya terhadap kekuatan koneksi. Revisi hukum efek menyatakan bahwa penguatan akan meningkatkan dtrength of connection, sedangkan hukuman tidak memberi pengaruh apa-apa terhadap kekuatan koneksi.
Belongingness
Thorndike mengamati bahwa dalam proses belajar asosiasi ada faktor selain kontinguitas dan hukum efek. Jika elemen-elemen dari asosiasi dimiliki bersama, asosiasi di antara mereka akan dipelajari dan dipertahankan dengan lebih mudah ketimbang jika elemen itu bukan milik bersama. Ada sesuatu yang beroperasi selain kontiguitas, dan sesuatu itu oleh Thorndike dinamakan belongingness; artinya sifat-sifat suatu item, yang dalam kasus ini subjek dan kata kerja, yang erat hubungannya dengan atau menjadi bagian integral dari item lain.
Thorndike menggunakan konsep belongingness dalam dua cara. Pertama dia menggunakannya untuk menjelaskan engapa ketika mempelajari materi verbal seseorang akan cenderung mengorganisasikan apa-apa yang dipelajarinya dalam unit-unit yang dianggap masuk dalam golongan yang sama. Kedua, dia mengatakan bahwa jika efek-efek yang dihasilkan oleh suatu respons terkait dengan kebutuhan organisme, proses belajar akan lebih efektif ketimbang jika efek yang dihasilkan itu tidak terkait dengan kebutuhan organisme.
Penyebaran Efek
Sesudah tahun 1930, Thorndike menambahkan konsep teoretis lainnya, yang disebutnya sebagai spread of effect (penyebaran efek). Selama eksperimennya, Thorndike secara tak sengaja menemukan bahwa keadaan yang memuaskan tidak hanya menambah probabilitas terulangnya respons yang menghasilkan keadaan yang memuaskan tersebut tetapi juga meningkatkan probabilitas terulangnya respons yang mengitari respon yang memperkuat itu.
Sumber:
B.R Hergenhahn & Matthew H. Olson.Theories Of Learning
1 comments:
baguuus
Post a Comment